PENDIDIKAN |
KabarIndonesia - Ada pemandangan lain di ruang lobi Hotel Lor In Solo beberapa hari kemarin (25/9). Hampir semua kursi yang ada di sudut-sudut ruangan penuh dengan anak-anak yang “unik”. Di sebagian ruangan, tampak juga berjajar kursi roda dan beberapa alat bantu jalan lainnya. Sesekali ruangan lobi itu riuh oleh suara tawa mereka yang lepas. Sementara ada di satu area ruangan, terlihat gerombolan anak tanpa suara sedikit pun. Tetapi, mereka seperti melakukan komunikasi, yaitu dengan isyarat gerakan tangan dan mulut. Ya, mereka adalah anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus atau biasa disebut ABK (anak berkebutuhan khusus). Sekadar memperjelas, bahwa ABK adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya, seperti ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Adapun yang termasuk ke dalam ABK antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan. Ternyata, kehadiran para ABK di hotel tersebut dalam rangka untuk menghadiri acara Jambore Nasional ABK Tahun 2012 (25-28/9) yang digagas oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kemendikbud. Para peserta merupakan perwakilan ABK di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia dengan didampingi oleh para guru pembina pramuka dari daerahnya masing-masing. Dan yang membuat saya terharu, adalah wajah-wajah mereka yang begitu ceria, tanpa rasa beban sedikit pun, walaupun dengan keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki. Barangkali di antara mereka, ada yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di hotel berbintang yang megah dengan berbagai fasilitas yang disediakan. Mata-mata mereka tidak henti-hentinya mengamati tiap sudut ruangan dan langit-langit yang berhiaskan lampu kristal. Tidak sedikit di antara mereka yang berdecak kagum, sampai mengeluarkan kata-kata, “wow…bagus sekali ya….!” Dan ada ungkapan-ungkapan kekaguman dan kegembiraan yang khas, sesuai bahasa daerah mereka masing-masing. Sungguh pemandangan, yang membuat saya terharu sekaligus bahagia, karena menyaksikan anak-anak yang selama ini termarjinalkan dari segala fasilitas, termasuk pelayanan pendidikan yang bermutu, setidaknya selama tiga hari ini, mereka dapat menikmati kehidupan yang serba menyenangkan. Mulai dari hidangan makan dengan menu yang bervariasi, tempat tidur yang empuk dan nyaman, serta suasana taman yang dilengkapi kolam renang yang sejuk dan indah. Semua itu, dulunya hanya bisa dilihat dan didengar di televisi, tetapi kini, mereka benar-benar merasakannya sendiri, walaupun hanya dalam hitungan hari. Sesungguhnya yang membuat saya sangat terkesan dengan kegiatan ini, bahwa dari sekian banyak anggaran pemerintah di bidang pendidikan, ternyata ada alokasi dana yang diperuntukkan anak-anak istimewa ini. Walaupun belum seluruhnya ABK di Indonesia bisa dilayani seperti ini, tetapi paling tidak ada sebagiannya yang ikut menikmati anggaran dari pemerintah untuk pendidikan. Barangkali, jika masyarakat tahu bahwa ada anggaran negara yang benar-benar dinikmati oleh anak-anak penyandang cacat ini, bisa jadi kesadaran untuk membayar pajak akan pulih dan meningkat. Karena selama ini, masyarakat hanya disuguhi oleh berita-berita korupsi atau penyelewengan uang negara oleh para oknum pejabat di negeri ini, termasuk menilep uang pajak yang ditarik dari rakyat. Tidak heran, jika masyarakat menjadi alergi dan trauma untuk membayar pajak, karena dianggap hanya menggendutkan perut segelintir orang yang kebetulan punya wewenang di negeri ini. Amanah Sebagaimana kita tahu, UUD 1945 mengamanahkan, bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan adalah sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dan sejak tahun 2009, secara konsisten pemerintah dan DPR sepakat untuk mengalokasikan dana pendidikan di APBN minimal sebesar 20 persen, setelah dipertegas oleh keputasan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 13/PUU-VII tahun 2008, yang isinya pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Pada tahun 2012 anggaran pendidikan dari APBN mencapai angka Rp 310,8 triliun dan di tahun 2013 diperkirakan akan naik 6,7 persen, yaitu sebesar Rp 331,8 triliun atau terbesar kedua setelah gaji pegawai pemerintah pusat dan daerah. Kenaikan anggaran pendidikan ini diklaim oleh pemerintah agar bisa digunakan dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas jangkauan pemerataan pendidikan dan meningkatkan partisipasi pendidikan di semua jenjang pendidikan. Pertanyaannya adalah, sudah efektifkah penggunaan anggaran sebesar itu untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Dan sudahkah dana tersebut benar-benar menyasar kepada masyarakat yang membutuhkan? Pasalnya, ditengarai anggaran lebih banyak diserap untuk proyek tidak produktif jika dibandingkan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Dan yang benar-benar dinikmati oleh publik adalah kurang dari 30 persen dari total anggaran pendidikan. Asumsi ini barangkali benar, jika kita melihat kenyataan di lapangan, dimana masih banyak anak bangsa ini yang belum tersentuh oleh pendidikan, kemudian gedung-gedung sekolah dan fasilitas belajar yang tidak memadai, termasuk program pendidikan gratis yang masih sekadar slogan dan pencitraan. Mungkin, beberapa program yang bermanfaat langsung bagi masyarakat sudah terlaksana, seperti program penambahan kelas, perbaikan ruang kelas, bantuan operasional sekolah (BOS), dan pengadaan sarana-prasarana. Tetapi, sesungguhnya dibalik itu, banyak program tidak produktif dan efektif yang intinya hanya untuk kepentingan birokrasi, seperti rapat, sosialisasi, workshop, simposium dan perjalanan dinas. Anehnya, agenda-agenda birokrasi yang sebenarnya bisa dilaksanakan di kantor atau di sekolah, ternyata lebih sering diadakan di hotel-hotel berbintang, sehingga membutuhkan dana yang besar. Jika ditelisik lebih jauh, ketika ada acara sosialisasi atau rapat di hotel, ternyata antara agenda utama dengan kegiatan refreshing, seringkali berimbang, bahkan lebih banyak kegiatan berliburnya. Sungguh, telah terjadi kemubaziran di dalam penggunaaan uang negara. Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi kegiatan Jambore Nasional ABK yang dilaksanakan di hotel berbintang empat ini, karena setidaknya uang negara yang selama ini dinikmati oleh para elit penguasa, bisa dirasakan oleh anak-anak yang memiliki keterbatasan, baik secara fisik maupun mental. Karena, tidak hanya bagi anak-anak “normal” saja, pendidikan yang bermutu diberlakukan, tetapi sudah semestinya ABK juga ikut mengenyam. Sebagaimana diketahui, bahwa jumlah ABK yang belum mendapatkan layanan pendidikan yang layak masih sangat tinggi. Berdasarkan data Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Dikdas Kemendikbud, bahwa angka partisipasi murni (APM) ABK di dunia pendidikan pada tahun 2011 pada jenjang pendidikan dasar baru di angka 30,5 persen. Tentunya menjadi PR kita bersama, terutama bagi para pengendali wewenang. Sesungguhnya, kewajiban pemerintah untuk memperhatikan pendidikan siswa ABK ini, telah diatur dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa ada diskriminasi. Bahkan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terisolir berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Akhirnya, saya ucapkan selamat mengikuti Jambore untuk siswa ABK, Insya Allah bangsa ini menjadi lebih maju dan berkah, amin. |
Sabtu, 25 April 2015
Jambore Nasional Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 2012 di Solo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar